Sabtu, 13 Juli 2019

Runtuhnya sang Raksasa: Pelajaran buat Perpustakaan

Dua hari berturut-turut beberapa minggu lalu, koran yang saya langgan memberitakan penutupan beberapa gerai Giant. Giant adalah toko swalayan besar. Anak perusahaan Hero. Sebuah perusahaan Raksasa di bidang ritel.  Ini korban lanjutan dari teknologi desruptiv. Setelah sebelumnya seven eleven juga tutup warung. Padahal kita tahu, Giant itu adalah swalayan yang sangat besar. Dan sangat lengkap. Rasanya tak percaya kalau Giant bisa bangkrut. Sampai-sampai menutup 29 gerainya. Diberi nama Giant yang berarti raksasa itu mungkin sebagai tanda yang menyiratkan kekuatan. Yang tidak mungkin dikalahkan oleh apapun. Tapi kenyataannya ya kolep juga. Menurut berita bangkrutnya toko kelontong terbesar itu disebabkan oleh persaingan ritel yang semakin kompetitif. Toko kelontong besar itu tidak mampu bertahan menghadapi gempuran toko elektronik. Kalau dulu orang berbelanja cenderung akan datang secara fisik ke toko, kini mereka bisa berbelanja dari rumah. Tinggal memainkan ponselnya maka barang yang dibutuhkan akan datang. Bayar pun di rumah. Jadi  perilaku konsumen sudah berubah. Dulu orang berbelanja sambil cuci mata. Alias jalan-jalan. Kadang sambil nongkrong bersama keluarga dan teman-teman. Kini orang berlanja ''to-the-point'' atau langsung pada keperluannya. Makanya mereka tidak suka datang ke toko yang besar. Nah, perilaku ini yang ''dicium'' oleh pengelola atau manajemen ritel, sehingga manajemen toko memperkecil ukuran tokonya. Dan bahkan menutup gerai-gerai raksasanya. Mungkin juga mereka menggantinya dengan toko online.

Bagaimana dengan perpustakaan? Tentunya perilaku pengguna perpustakaan juga ikut berubah mengikuti perubahan perilaku masyarakat masa kini. Ini yang harus dibaca oleh pengelola perpustakaan. Masyarakat pengguna perpustakaan lebih suka menggunakan literatur online. Yang berbentuk elektonik. Yang bisa diakses dari mana saja. Seperti dari rumah. Tempat kerja. Bahkan ketika mereka sedang berada di luar kota. Yang bisa diakses kapan saja. Bisa waktu pagi, siang, bahkan tengah malam. Ini mengingatkan saya kepada iklan sebuah minuman. Di mana saja, kapan saja, siapa saja, minum C..a C..a. Oleh karena itu, perpustakaan masa kini harus menciptakan situasi yang diinginkan oleh pengguna yang tergolong generasi milennial tersebut. Apa itu generasi milennial? Generasi milennial adalah generasi yang lahir setelah tahun 1980an. Ciri generasi milennial tersebut antara lain adalah: (1) memiliki kebiasaan serba cepat, namun gampang bosan pada barang yang dibeli; (2) gadget menjadi yang utama, no gadget no life; (3) hobi melakukan pembayaran non tunai, cukup bertransaksi dengn gadget; (4) serba instan, tidak mau menunggu lama; (5) lebih memilih pengalaman daripada aset, kalau punya uang lebih suka buat jalan daripada ditabung; (6) berbeda perilaku dalam group yang satu dengan grup yang lain; (7) jago multitasking dan memiliki mobilitas serta aktivitas yang tinggi, sehingga bisa mengerjakan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan; (8) kritis terhadap fenomena sosial; (9) senang memposting sehingga apapun yang pantas diposting akan segera diposting; (10) suka berbagi. Apapun yang dia punya akan dibagi.

Nah, bagaimana perpustakaan bisa menangkap ciri-ciri tersebut untuk menciptakan layanannya sehingga disukai oleh generasi milennial tersebut. Itu yang akan mencegah perpustakaan menjadi korban teknologi desruptiv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar