Jumat, 12 Juli 2019

Pustakawan dan resto kuliner

Malam Minggu. Isteriku mengajak makan di luar. Mumpung si bungsu di rumah. Katanya. Maklum anak bungsuku memang agak jarang ada di rumah akhir-akhir ini. Sebabnya, anak bungsuku itu sedang menyelesaikan tugas-tugas akhir kuliahnya. Di IKJ semester 8.

Perjalanan ke resto Juragan Kerang sengaja aku ambil jalan memutar. Isteriku protes karena perjalanan menjadi lebih jauh dan lama. Beruntung tidak terlalu macet. Kalau tidak pastilah protes isteriku akan bertambah-tambah. Karena terhadang macet. Aku bilang jalan memutar itu sekalian untuk melihat-lihat situasi kuliner di sepanjang jalan. Kami melewati beberapa resto. Ada yang ramai pengunjung. Ada yang biasa saja, tidak ramai dan juga tidak sepi. Namun ada juga yang sepi pengunjung. Situasi ini kan bisa menjadi referensi. Yang ramai itu mungkin karena masakannya enak. Atau pelayanannya bagus. Atau prima. Sedang yang sepi itu mungkin karena makannya kurang cocok bagi selera masyarakat sekitar. Atau pelayannya kurang bagus. Atau tidak prima.

Tiba di Juragan Kerang isteri dan kedua anakku turun duluan. Berebut antri meja. Maklum pengunjung yang antri sudah banyak. Sementara isteriku antri untuk mendapatkan meja kosong, aku cari parkiran kosong. Ini luar biasa. Untuk makan kerang saja kita harus bersusah payah antri. Sementara isteriku berada dalam antrian, aku lihat meja-meja di dalam sudah penuh dengan orang makan. Sebagai pustakawan pikiran saya menerawang ke kondisi perpustakaan. Andaikata orang yang berkunjung ke perpustakaan itu bisa seperti ini. Begitu pikiran saya. Mendadak muncul begitu saja. Saya mencoba mencari apa kira-kira yang bisa menarik orang begitu banyak datang ke restoran ini. Rasa kerang yang dimasaknya tidak istimewa. Setidaknya menurut saya. Saya membandingkannya dengan kerang yang selama ini sering saya makan di warung pinggir jalan. Warung pecel lele yang juga menyediakan sea food. Rasa sambelnya masih lebih enak di warung langganan saya makan. Yang di pinggir jalan itu. Tapi sekarang warung itu punya saingan. Bernama Juragan Kerang. Yang selalu diserbu pembeli.

Saya terus mencoba mencari alasan mengapa bisa seperti itu. Mungkin cara menghidangkan makanannya itu yang berbeda. Cara mereka mirip seperti makan bersama ala Sunda. Atau Arab. Atau pesantrenan. Makanan disajikan di meja yang dilapisi kertas mirip kertas nasi. Yang kalau di daerah Sunda menggunakan daun pisang. Kalau di pesantren menggunakan nyiru. Sehingga bumbu dari makanan tersebut tidak tembus ke meja. Menurut saya pemilik restoran ini cerdas. Tidak berpikir linier. Memanfaatkan budaya makan dari beberapa kelompok masyarakat. Tidak menyajikan makanan seperti biasa. Dengan piring, sendok, garpu, mangkok dan kelengkapan lainnya. Dan itu disukai oleh pelanggan. Pikiran saya menerawang. Seandainya pustakawan bisa mencari modus penyajian layanan yang tidak biasa. Yang disukai oleh pemustakanya. Mungkin pengunjung perpustakaan itu bakal membludak. Sampai harus antri untuk mendapatkan kursi. Ini akan hebat. Perpustakaan menjadi tren tempat ngumpul anak muda. Bukan cuma untuk belajar. Tapi untuk berdiskusi. Brainstorming. Dan kegiatan positif lainnya.

Kemudian saya jadi ingat BTN Zone di Perpustakaan IPB. Sarana ruang baca ini baru saja diresmikan oleh Rektor IPB itu. Saya kira ruang baca ini juga dikembangkan dengan cara tidak linier. Umumnya orang masuk ke ruang baca di perpustakaan selalu dilarang membawa makanan dan minuman. Namun BTN Zone justru menyediakan tempat hang out sambil berdiskusi ringan. Di sebelah BTN Zone itu tersedia mini market yang menyediakan kopi dan makanan ringan lainnya. Ruangannya berAC. Tersedia WIFI yang terhubung ke internet. Bisa berdiskusi sambil ngopi. Mungkin ini cocok bagi generasi millennial. Makanya, BTN Zone ini segera menjadi tempat baca favorit bagi mahasiswa. Selalu penuh, apalagi menjelang siang. Banyak mahasiswa yang sudah lelah mengerjakan tugas-tugasnya, masuk ke BTN Zone untuk sekedar istirahat sambil menyantap makanan ringan.


Saya kira model-model layanan yang tidak linier seperti ini yang harus dikembangkan di perpustakaan. Untuk mencari modus layanan baru bagi perpustakaan, diperlukan tim kreatif. Tim itu biasanya terdiri dari anak-anak muda yang memiliki kreativitas tinggi. Yang tidak selalu berpikir linier. (ARS, 4 Mar. 2019).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar