Sinopsis
Dua hari yang seharusnya biasa saja berubah menjadi perjalanan batin penuh godaan. Dalam kesunyian kota asing, dua orang yang terdampar karena salah jadwal lokakarya menemukan kehangatan yang tak seharusnya ada. Genggaman tangan, tawa ringan, dan mata yang enggan berpaling — semua mengarah pada batas yang tidak boleh dilanggar. "Kenangan yang Tidak Boleh Hidup" adalah kisah tentang bagaimana perasaan harus dikalahkan sebelum berubah menjadi luka, tentang setia pada janji meski dunia menawarkan sejenak pelarian.
Sekitar
pukul tiga pagi aku tiba di Semarang. Udara lengket, malas bergerak.
Bis menurunkanku di tepi jalan, lalu pergi, seolah juga ingin cepat melupakan
kota ini.
Aku baru
sekali ini menginjakkan kaki di Semarang.
Undangan lokakarya, katanya. Di Ungaran. Dekat, tapi tetap saja terasa asing.
Hari masih buta. Warung 24 jam jadi satu-satunya mercusuar.
Aku masuk, memesan kopi, rokok, sedikit alasan untuk menunda kesepian.
Tukang
warung itu cerewet.
Aku pura-pura mendengarkan sambil memikirkan nasib sendiri.
Ia memberiku petunjuk jalan sekenanya, seolah tahu aku akan tetap tersesat.
Pagi
merangkak malas.
Aku naik taksi. Sopir taksi tak kalah malas bicara, atau mungkin sudah lelah
mengantar orang-orang yang tak tahu mau ke mana dalam hidupnya.
Sampai di
kantor tujuan, suasananya lebih dingin daripada udara dini hari tadi.
Ruang tunggu luas, kosong, dan entah kenapa terasa sedikit menghina.
Di dinding, akuarium besar mengisi kekosongan itu.
Ikan-ikan berenang riang, tanpa beban, tanpa utang, tanpa rasa takut dicoret
dari daftar hidup.
Mereka tak perlu pusing soal makan besok.
Tak perlu berlagak bahagia sambil mengkhawatirkan uang sewa.
Tak perlu pura-pura sukses di depan dunia yang juga pura-pura peduli.
Manusia?
Yang miskin pusing mengais sisa-sisa.
Yang kaya pusing mencari cara menyembunyikan dosa di balik jas mahal.
Semua sibuk mengejar sesuatu yang akhirnya akan dibusukkan tanah juga.
Aku menatap
ikan-ikan itu lama-lama.
Mereka tampak seperti makhluk paling jujur yang pernah kulihat.
Sesuai isi
undangan, semua peserta diminta berkumpul di kantor ini, lalu bersama-sama
diantar ke lokasi acara di Ungaran.
Tapi sampai siang lewat, tak satu pun peserta lain muncul.
Ruang tunggu tetap kosong, hanya ikan-ikan di akuarium itu yang sibuk
mondar-mandir.
Aku mulai
gelisah.
Ketika seorang pegawai datang, aku segera menghampirinya.
"Mas,
mau tanya," kataku.
Pegawai itu
tersenyum kaku. "Ya, silakan."
"Peserta
lokakarya ini... kumpul di sini, kan?" Aku sodorkan undangan.
Dia membaca
sekilas, lalu mengangguk. "Betul, Pak. Tapi lokakaryanya diundur. Baru
mulai Senin depan."
Aku
terdiam. Senin depan?
Hari ini baru Jumat.
"Lho,
kok enggak ada pemberitahuan?" suaraku meninggi, lebih ke diri sendiri
sebenarnya.
"Ada,
Pak," katanya cepat, suaranya entah bersalah entah sekadar basa-basi.
"Cuma... pemberitahuannya mendadak. Mungkin belum sampai ke Bapak."
Mendadak.
Semuanya di negeri ini memang selalu mendadak.
Aku
menghela napas panjang, mencoba menelan kenyataan.
Pulang ke kotaku? Mustahil.
Tiket mahal, belum tentu dapat.
Balik lagi dua hari kemudian? Lebih tolol lagi.
Aku merasa
seperti sepotong sandal yang ketinggalan di halte — tidak berguna, tidak tahu
harus ke mana.
Waktu itu,
komunikasi belum semudah sekarang.
Belum ada WhatsApp, belum ada internet di kantong.
Kalau ada berita penting, ya bisa saja nyangkut di jalan, hilang sebelum sampai
tujuan.
Itulah yang terjadi. Pengumuman tentang pengunduran lokakarya entah tersesat di
mana. Aku berangkat tanpa tahu apa-apa.
"Sudah
ada satu peserta lagi, Pak," kata pegawai itu, entah untuk menghibur atau
menambah rasa sialku.
"Sama, dia juga nggak sempat nerima pengumuman. Ayo, saya kenalkan."
Dia
membawaku ke sudut ruang tunggu.
Di sana, seorang perempuan duduk sambil memeluk tas ranselnya, matanya kosong,
mungkin sama bingungnya denganku.
"Mbakyu,
ini ada teman seperjuangan," kata pegawai itu. "Nanti Bapak dan Mbak
tunggu saja di sini. Siang nanti kalau sudah pasti nggak ada peserta lain, saya
antar ke lokasi. Di sana ada mes. Bisa nginap. Lokasi acara juga dekat, tinggal
jalan kaki."
"Baik,
Mas," jawabku, hampir bersamaan dengan perempuan itu.
Setelah
pegawai itu pergi, aku menoleh ke perempuan itu.
"Yani,"
katanya sambil tersenyum kecil.
Umurnya
mungkin sekitar 25-an.
Wajahnya manis, bulat khas Jawa.
Kulitnya hitam manis, rambut lurus sebahu, gerak-geriknya sederhana tapi enak
dilihat.
Tingginya sedang, mungkin sekitar 160 cm.
Singkatnya: cukup membuat pagi sialku terasa sedikit kurang sial.
Setelah
perkenalan singkat, kami ngobrol sambil menunggu mobil yang akan mengantar kami
ke mes.
"Mbakyu
kerja di bagian apa di kantor itu?" tanyaku, berusaha memecah kekakuan.
"Oh,
aku di perpustakaan," jawab Yani sambil tersenyum kecil. "Sambil
kuliah juga, di kampus swasta. Ngambil jurusan yang... ya, setidaknya masih
nyambung sama kantor.
Kerja di perpustakaan ini cuma numpang lewat, sih. Mimpi besarnya pindah jadi
peneliti di departemen."
Dia
menghela napas, entah lelah atau malas membahas kenyataan.
"Katanya
aku pustakawan," lanjutnya, "padahal kuliahku bukan ilmu
perpustakaan."
Aku tertawa
kecil. "Sama. Aku juga pustakawan. Bagian referensi."
Dia
mengerutkan kening. "Referensi itu apa ya? Maklum, aku pustakawan
karbitan."
"Bagian
referensi itu kayak tukang jawab," kataku. "Kalau ada orang cari
informasi, kita yang bantu nemuin jawabannya."
"Oh,
gitu..." katanya, manggut-manggut.
"Kalau di tempatku semua kerjaan campur aduk. Maklum, perpustakaannya
kecil. Kadang jadi resepsionis, kadang kayak tukang sapu."
Aku
tersenyum. Ada sesuatu dalam nada bicaranya — getir, tapi juga enteng, seperti
sudah berdamai dengan keadaan.
Obrolan
ngalor-ngidul terus mengalir, membuat kami cepat akrab.
Kami sudah saling memanggil nama. Tapi Yani tetap menambahkan "Mas"
di depan namaku — mungkin kebiasaan, mungkin bentuk jarak yang sopan.
Waktu
merangkak.
Hari makin siang. Sepertinya tak ada lagi peserta yang salah jadwal seperti
kami.
Menjelang
makan siang, perut kami mulai protes.
Kami menyusuri lorong-lorong kantor itu dan menemukan kantin kecil di belakang
gedung.
Nasi soto jadi pilihan aman.
Sambil
makan, obrolan kami terus berputar, entah soal kuliah, kerjaan, atau sekadar
bercanda soal betapa konyolnya nasib kami hari itu.
Setelah
kenyang, kami kembali ke ruang tunggu — satu-satunya tempat yang rasanya sudah
mulai terasa seperti "wilayah kami".
Sekitar jam
satu siang, pegawai yang tadi pagi menemui kami datang lagi.
"Silakan,
Bapak dan Mbak ikut saya ke mobil. Saya antar ke penginapan," katanya
sambil tersenyum.
Kami
mengekor, setengah lega akhirnya ada sesuatu yang bergerak dalam hidup kami
hari itu.
Di dalam
mobil, si pegawai memberi pesan, "Nanti malam nggak usah cari makan, ya,
Pak, Mbak. Panitia akan jemput buat makan malam di restoran."
Aku hanya
mengangguk. Yani tersenyum kecil, matanya menerawang keluar jendela.
Tiba di
penginapan, kami ditempatkan di kamar yang bersebelahan.
Sebenarnya, mes untuk putri ada di gedung lain. Tapi karena baru kami berdua,
Yani untuk sementara ditempatkan di sebelah kamarku.
"Mbakyu
sementara di kamar sebelah, ya, Pak. Nanti kalau peserta lain datang, Mbakyu
dipindah ke mes putri," jelas pegawai itu, lebih santai.
"Selamat
beristirahat," tambahnya, lalu pergi, meninggalkan kami berdiri di koridor
yang sepi.
Sejenak
kami saling pandang, lalu tertawa kecil — tanpa kata, sama-sama merasa betapa
anehnya perjalanan ini.
Sore itu
kami tak punya acara.
Jadi kami duduk di teras, melanjutkan obrolan tanpa arah.
Angin sore mengusap pelan, langit perlahan berubah warna.
Matahari mulai turun, meninggalkan jejak oranye di ufuk.
Yani yang
sudah mulai lepas menawarkan sesuatu.
"Mas, mau kopi? Aku bikinin, ya."
Kebetulan
di kamar memang ada kopi instan dan air panas.
Aku mengangguk. "Boleh banget."
Kami menghabiskan sore
dengan cangkir-cangkir kopi dan cerita-cerita kecil yang makin lama makin
dalam.
Entah kenapa, suasana antara kami terasa ringan, bahkan sedikit berbahaya — dua
orang asing yang terlalu cepat merasa nyaman.
Pagi Sabtu, setelah
mandi dan bersih-bersih, kami duduk lagi di teras.
Yani sudah menyiapkan kopi, wangi seduhan barunya menguar di udara pagi.
"Mas,"
katanya sambil menyeruput kopinya, "apa acara kita hari ini?"
Aku berpikir sebentar,
lalu berkata, "Jalan-jalan ke kota, yuk?"
Tak kusangka, Yani
langsung mengangguk. "Boleh juga."
Begitulah, hari itu
kami habiskan keliling Semarang.
Naik turun angkot, berganti ke bis kota.
Mampir ke mal, ke toko-toko kecil, ke jalanan sempit yang penuh suara dan bau
khas kota tua.
Obrolan kami tak pernah berhenti — tentang apa saja, tentang siapa saja.
Tawa kadang meledak, kadang hanya senyum malu-malu.
Menjelang sore, kami
kelelahan.
Setelah makan siang di mal, kami kembali ke mes untuk tidur siang.
Malamnya, masih
setengah mengantuk, kami keluar sebentar hanya untuk membeli sate.
Tak banyak bicara malam itu — mungkin karena terlalu lelah, mungkin karena
sudah terlalu banyak kata sepanjang hari.
Akhirnya kami saling
pamit di koridor.
Tanpa basa-basi, tanpa formalitas.
Seperti teman lama yang tahu, esok hari akan membawa cerita baru.
Minggu pagi.
Matahari baru naik, menghangatkan tanah yang masih basah embun.
Angin kecil lewat, membawa aroma rumput dan tanah basah.
Dari kejauhan, suara burung terdengar seperti percakapan pelan yang tak pernah
usai.
Aku keluar kamar dan
duduk di teras, secangkir kopi di tangan.
Tak lama, Yani muncul membawa dua cangkir.
Dia menyodorkan satu untukku tanpa banyak kata.
"Mas,"
katanya sambil tersenyum, "hari ini kita kemana?
Kemarin kan sudah keliling kota. Aku lihat, nggak jauh dari sini ada bukit.
Gimana kalau kita ke sana?"
Aku mengangguk.
"Boleh. Tapi nanti agak siangan, biar nggak licin."
Siang itu, kami
mendaki bukit kecil di dekat mes.
Batu-batu basah sisa embun membuat langkah kami licin.
Beberapa kali Yani kehilangan keseimbangan dan akhirnya menggenggam tanganku —
ragu-ragu di awal, lalu makin erat.
Aku membalas genggamannya, setengah spontan, setengah sadar.
Kami terus berjalan,
kadang tertawa, kadang saling mendiam.
Di puncak bukit, dunia terasa lapang.
Hanya kami berdua di sana, di bawah langit luas.
Sejenak aku lupa.
Lupa bahwa di rumah ada seseorang yang menungguku — seorang istri, seorang
anak.
Mereka ada di ujung lain dari hidupku.
Sementara di sini, di antara tawa kecil dan genggaman tangan, ada percikan api
yang bisa membakar semuanya.
Aku menarik napas
panjang, dalam.
Aku tahu aku harus berhenti.
Aku harus menjauh — dari pemandangan ini, dari Yani, dari diriku sendiri.
Kami turun perlahan.
Masih berpegangan tangan, tapi kini genggamanku dingin, kaku, seperti tali
tambang yang menahan sesuatu agar tidak jatuh.
Minggu sore, peserta
lain mulai berdatangan.
Yani dipindahkan ke mes putri seperti rencana semula.
Aku merasa lega, sekaligus kehilangan.
Senin pagi, lokakarya
dimulai.
Dua hari penuh diisi sesi-sesi resmi, ceramah, diskusi.
Segalanya kembali normal, atau pura-pura normal.
Selasa malam, peserta
mulai pulang ke kota masing-masing.
Aku pun bersiap pulang — membawa pulang bukan hanya baju kotor dan buku
catatan, tapi juga sebuah rahasia kecil yang hanya aku sendiri yang tahu.
Saat Yani berpamitan,
dia menatapku lama.
Ada sesuatu di matanya — sesuatu yang ingin dikatakan tapi tak jadi.
"Mas..."
suaranya pelan. "Kita bakal ketemu lagi nggak ya?"
Aku tersenyum, pahit.
Sedikit menunduk sebelum menjawab.
"Pertemuan ini...
mungkin memang berkesan," kataku perlahan.
"Karena kita sama-sama salah waktu. Tapi hidup nggak berhenti di sini,
Yan.
Kamu punya jalanmu sendiri. Aku juga.
Kenangan ini... biar jadi cerita kecil yang kita simpan. Tapi jangan terlalu
sering menoleh ke belakang."
Aku melihat wajahnya
menegang sejenak, lalu mengendur dalam pasrah.
"Kenang saja
perjalanan singkat ini," tambahku, nyaris berbisik.
"Hanya itu."
Sebuah anggukan pelan
dari Yani.
Lalu kendaraan travel datang, menghentikan percakapan yang mungkin bisa
berlarut-larut kalau kami terlalu lemah.
Aku melihat
punggungnya menjauh, lalu menghilang di balik pintu mobil.
Aku sendiri bergegas
ke stasiun, mengejar kereta yang akan membawaku pulang.
Pulang ke hidup yang nyata.
Pulang ke wanita yang setiap malam menungguku, tak pernah tahu betapa besarnya
godaan di tengah jalan.
Dua hari bersama Yani
bukan sekadar perjalanan —
itu adalah ujian.
Ujian yang diam-diam membakar, lalu diam-diam kupadamkan sendiri.
Dan kini, di dalam
deru kereta yang meninggalkan Semarang, aku tahu:
beberapa kenangan memang harus cukup dikenang.
Tidak lebih.