Senin, 11 Agustus 2025

Pramuka dan Literasi: Refleksi Pustakawan di Hari Pramuka Nasional


Abdul Rahman Saleh

Setiap tanggal 14 Agustus, kita merayakan Hari Pramuka Nasional. Ini adalah momen untuk merefleksikan kembali peran Gerakan Pramuka dalam membentuk karakter generasi muda. Bagi seorang pustakawan, peringatan ini memiliki makna yang mendalam. Gerakan Pramuka dan perpustakaan memiliki misi yang serupa: mencerdaskan dan membekali generasi muda dengan keterampilan untuk masa depan.

Pramuka mengajarkan keterampilan bertahan hidup, kepemimpinan, dan kerja sama tim. Namun, di balik semua kegiatan fisik dan petualangan, ada satu fondasi yang tak terpisahkan: literasi. Tanpa kemampuan membaca dan memahami petunjuk, seorang pramuka tidak akan bisa mempelajari sandi morse, membaca peta, atau memahami sejarah bangsa.

Di sinilah peran pustakawan dan perpustakaan menjadi sangat relevan. Perpustakaan adalah "rumah" bagi semua pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang pramuka. Buku-buku tentang botani dapat membantu mereka mengidentifikasi tanaman di alam bebas. Buku sejarah menguatkan rasa cinta tanah air. Buku cerita petualangan menginspirasi mereka untuk berani bermimpi dan menjelajah.

Pada Hari Pramuka ini, mari kita, para pustakawan, merenung:

  1. Bagaimana kita bisa berkolaborasi lebih erat dengan Gerakan Pramuka? Kita bisa mengadakan kegiatan mendongeng tentang kepahlawanan, membuat pojok baca khusus buku-buku kepramukaan, atau bahkan mengadakan pelatihan literasi digital untuk anggota Pramuka.
  2. Apakah perpustakaan kita sudah menjadi "posko" bagi para pramuka? Perpustakaan seharusnya menjadi tempat di mana mereka bisa mencari referensi untuk tugas-tugas, merencanakan kegiatan, atau sekadar beristirahat sambil membaca.

Sama seperti tunas kelapa yang kokoh, para pramuka adalah calon pemimpin yang kuat. Tugas kita sebagai pustakawan adalah menyirami tunas-tunas itu dengan ilmu pengetahuan. Melalui buku, kita bisa mengobarkan semangat kepanduan yang sejati—semangat untuk terus belajar, beradaptasi, dan berbakti pada masyarakat.

Selamat Hari Pramuka! Semoga semangat Praja Muda Karana selalu menyala dalam upaya kita memajukan literasi bangsa.

Minggu, 27 April 2025

Menunggu Lokakarya, Menunda Bencana

Sinopsis 

Dua hari yang seharusnya biasa saja berubah menjadi perjalanan batin penuh godaan. Dalam kesunyian kota asing, dua orang yang terdampar karena salah jadwal lokakarya menemukan kehangatan yang tak seharusnya ada. Genggaman tangan, tawa ringan, dan mata yang enggan berpaling — semua mengarah pada batas yang tidak boleh dilanggar. "Kenangan yang Tidak Boleh Hidup" adalah kisah tentang bagaimana perasaan harus dikalahkan sebelum berubah menjadi luka, tentang setia pada janji meski dunia menawarkan sejenak pelarian.


Sekitar pukul tiga pagi aku tiba di Semarang. Udara lengket, malas bergerak.
Bis menurunkanku di tepi jalan, lalu pergi, seolah juga ingin cepat melupakan kota ini.

Aku baru sekali ini menginjakkan kaki di Semarang.
Undangan lokakarya, katanya. Di Ungaran. Dekat, tapi tetap saja terasa asing.
Hari masih buta. Warung 24 jam jadi satu-satunya mercusuar.
Aku masuk, memesan kopi, rokok, sedikit alasan untuk menunda kesepian.

Tukang warung itu cerewet.
Aku pura-pura mendengarkan sambil memikirkan nasib sendiri.
Ia memberiku petunjuk jalan sekenanya, seolah tahu aku akan tetap tersesat.

Pagi merangkak malas.
Aku naik taksi. Sopir taksi tak kalah malas bicara, atau mungkin sudah lelah mengantar orang-orang yang tak tahu mau ke mana dalam hidupnya.

Sampai di kantor tujuan, suasananya lebih dingin daripada udara dini hari tadi.
Ruang tunggu luas, kosong, dan entah kenapa terasa sedikit menghina.
Di dinding, akuarium besar mengisi kekosongan itu.
Ikan-ikan berenang riang, tanpa beban, tanpa utang, tanpa rasa takut dicoret dari daftar hidup.
Mereka tak perlu pusing soal makan besok.
Tak perlu berlagak bahagia sambil mengkhawatirkan uang sewa.
Tak perlu pura-pura sukses di depan dunia yang juga pura-pura peduli.

Manusia?
Yang miskin pusing mengais sisa-sisa.
Yang kaya pusing mencari cara menyembunyikan dosa di balik jas mahal.
Semua sibuk mengejar sesuatu yang akhirnya akan dibusukkan tanah juga.

Aku menatap ikan-ikan itu lama-lama.
Mereka tampak seperti makhluk paling jujur yang pernah kulihat.

Sesuai isi undangan, semua peserta diminta berkumpul di kantor ini, lalu bersama-sama diantar ke lokasi acara di Ungaran.
Tapi sampai siang lewat, tak satu pun peserta lain muncul.
Ruang tunggu tetap kosong, hanya ikan-ikan di akuarium itu yang sibuk mondar-mandir.

Aku mulai gelisah.
Ketika seorang pegawai datang, aku segera menghampirinya.

"Mas, mau tanya," kataku.

Pegawai itu tersenyum kaku. "Ya, silakan."

"Peserta lokakarya ini... kumpul di sini, kan?" Aku sodorkan undangan.

Dia membaca sekilas, lalu mengangguk. "Betul, Pak. Tapi lokakaryanya diundur. Baru mulai Senin depan."

Aku terdiam. Senin depan?
Hari ini baru Jumat.

"Lho, kok enggak ada pemberitahuan?" suaraku meninggi, lebih ke diri sendiri sebenarnya.

"Ada, Pak," katanya cepat, suaranya entah bersalah entah sekadar basa-basi. "Cuma... pemberitahuannya mendadak. Mungkin belum sampai ke Bapak."

Mendadak.
Semuanya di negeri ini memang selalu mendadak.

Aku menghela napas panjang, mencoba menelan kenyataan.
Pulang ke kotaku? Mustahil.
Tiket mahal, belum tentu dapat.
Balik lagi dua hari kemudian? Lebih tolol lagi.

Aku merasa seperti sepotong sandal yang ketinggalan di halte — tidak berguna, tidak tahu harus ke mana.

Waktu itu, komunikasi belum semudah sekarang.
Belum ada WhatsApp, belum ada internet di kantong.
Kalau ada berita penting, ya bisa saja nyangkut di jalan, hilang sebelum sampai tujuan.
Itulah yang terjadi. Pengumuman tentang pengunduran lokakarya entah tersesat di mana. Aku berangkat tanpa tahu apa-apa.

"Sudah ada satu peserta lagi, Pak," kata pegawai itu, entah untuk menghibur atau menambah rasa sialku.
"Sama, dia juga nggak sempat nerima pengumuman. Ayo, saya kenalkan."

Dia membawaku ke sudut ruang tunggu.
Di sana, seorang perempuan duduk sambil memeluk tas ranselnya, matanya kosong, mungkin sama bingungnya denganku.

"Mbakyu, ini ada teman seperjuangan," kata pegawai itu. "Nanti Bapak dan Mbak tunggu saja di sini. Siang nanti kalau sudah pasti nggak ada peserta lain, saya antar ke lokasi. Di sana ada mes. Bisa nginap. Lokasi acara juga dekat, tinggal jalan kaki."

"Baik, Mas," jawabku, hampir bersamaan dengan perempuan itu.

Setelah pegawai itu pergi, aku menoleh ke perempuan itu.

"Yani," katanya sambil tersenyum kecil.

Umurnya mungkin sekitar 25-an.
Wajahnya manis, bulat khas Jawa.
Kulitnya hitam manis, rambut lurus sebahu, gerak-geriknya sederhana tapi enak dilihat.
Tingginya sedang, mungkin sekitar 160 cm.
Singkatnya: cukup membuat pagi sialku terasa sedikit kurang sial.

Setelah perkenalan singkat, kami ngobrol sambil menunggu mobil yang akan mengantar kami ke mes.

"Mbakyu kerja di bagian apa di kantor itu?" tanyaku, berusaha memecah kekakuan.

"Oh, aku di perpustakaan," jawab Yani sambil tersenyum kecil. "Sambil kuliah juga, di kampus swasta. Ngambil jurusan yang... ya, setidaknya masih nyambung sama kantor.
Kerja di perpustakaan ini cuma numpang lewat, sih. Mimpi besarnya pindah jadi peneliti di departemen."

Dia menghela napas, entah lelah atau malas membahas kenyataan.

"Katanya aku pustakawan," lanjutnya, "padahal kuliahku bukan ilmu perpustakaan."

Aku tertawa kecil. "Sama. Aku juga pustakawan. Bagian referensi."

Dia mengerutkan kening. "Referensi itu apa ya? Maklum, aku pustakawan karbitan."

"Bagian referensi itu kayak tukang jawab," kataku. "Kalau ada orang cari informasi, kita yang bantu nemuin jawabannya."

"Oh, gitu..." katanya, manggut-manggut.
"Kalau di tempatku semua kerjaan campur aduk. Maklum, perpustakaannya kecil. Kadang jadi resepsionis, kadang kayak tukang sapu."

Aku tersenyum. Ada sesuatu dalam nada bicaranya — getir, tapi juga enteng, seperti sudah berdamai dengan keadaan.

Obrolan ngalor-ngidul terus mengalir, membuat kami cepat akrab.
Kami sudah saling memanggil nama. Tapi Yani tetap menambahkan "Mas" di depan namaku — mungkin kebiasaan, mungkin bentuk jarak yang sopan.

Waktu merangkak.
Hari makin siang. Sepertinya tak ada lagi peserta yang salah jadwal seperti kami.

Menjelang makan siang, perut kami mulai protes.
Kami menyusuri lorong-lorong kantor itu dan menemukan kantin kecil di belakang gedung.
Nasi soto jadi pilihan aman.

Sambil makan, obrolan kami terus berputar, entah soal kuliah, kerjaan, atau sekadar bercanda soal betapa konyolnya nasib kami hari itu.

Setelah kenyang, kami kembali ke ruang tunggu — satu-satunya tempat yang rasanya sudah mulai terasa seperti "wilayah kami".

Sekitar jam satu siang, pegawai yang tadi pagi menemui kami datang lagi.

"Silakan, Bapak dan Mbak ikut saya ke mobil. Saya antar ke penginapan," katanya sambil tersenyum.

Kami mengekor, setengah lega akhirnya ada sesuatu yang bergerak dalam hidup kami hari itu.

Di dalam mobil, si pegawai memberi pesan, "Nanti malam nggak usah cari makan, ya, Pak, Mbak. Panitia akan jemput buat makan malam di restoran."

Aku hanya mengangguk. Yani tersenyum kecil, matanya menerawang keluar jendela.

Tiba di penginapan, kami ditempatkan di kamar yang bersebelahan.
Sebenarnya, mes untuk putri ada di gedung lain. Tapi karena baru kami berdua, Yani untuk sementara ditempatkan di sebelah kamarku.

"Mbakyu sementara di kamar sebelah, ya, Pak. Nanti kalau peserta lain datang, Mbakyu dipindah ke mes putri," jelas pegawai itu, lebih santai.

"Selamat beristirahat," tambahnya, lalu pergi, meninggalkan kami berdiri di koridor yang sepi.

Sejenak kami saling pandang, lalu tertawa kecil — tanpa kata, sama-sama merasa betapa anehnya perjalanan ini.

Sore itu kami tak punya acara.
Jadi kami duduk di teras, melanjutkan obrolan tanpa arah.
Angin sore mengusap pelan, langit perlahan berubah warna.
Matahari mulai turun, meninggalkan jejak oranye di ufuk.

Yani yang sudah mulai lepas menawarkan sesuatu.
"Mas, mau kopi? Aku bikinin, ya."

Kebetulan di kamar memang ada kopi instan dan air panas.
Aku mengangguk. "Boleh banget."

Kami menghabiskan sore dengan cangkir-cangkir kopi dan cerita-cerita kecil yang makin lama makin dalam.
Entah kenapa, suasana antara kami terasa ringan, bahkan sedikit berbahaya — dua orang asing yang terlalu cepat merasa nyaman.

Pagi Sabtu, setelah mandi dan bersih-bersih, kami duduk lagi di teras.
Yani sudah menyiapkan kopi, wangi seduhan barunya menguar di udara pagi.

"Mas," katanya sambil menyeruput kopinya, "apa acara kita hari ini?"

Aku berpikir sebentar, lalu berkata, "Jalan-jalan ke kota, yuk?"

Tak kusangka, Yani langsung mengangguk. "Boleh juga."

Begitulah, hari itu kami habiskan keliling Semarang.
Naik turun angkot, berganti ke bis kota.
Mampir ke mal, ke toko-toko kecil, ke jalanan sempit yang penuh suara dan bau khas kota tua.
Obrolan kami tak pernah berhenti — tentang apa saja, tentang siapa saja.
Tawa kadang meledak, kadang hanya senyum malu-malu.

Menjelang sore, kami kelelahan.
Setelah makan siang di mal, kami kembali ke mes untuk tidur siang.

Malamnya, masih setengah mengantuk, kami keluar sebentar hanya untuk membeli sate.
Tak banyak bicara malam itu — mungkin karena terlalu lelah, mungkin karena sudah terlalu banyak kata sepanjang hari.

Akhirnya kami saling pamit di koridor.
Tanpa basa-basi, tanpa formalitas.
Seperti teman lama yang tahu, esok hari akan membawa cerita baru.

Minggu pagi.
Matahari baru naik, menghangatkan tanah yang masih basah embun.
Angin kecil lewat, membawa aroma rumput dan tanah basah.
Dari kejauhan, suara burung terdengar seperti percakapan pelan yang tak pernah usai.

Aku keluar kamar dan duduk di teras, secangkir kopi di tangan.
Tak lama, Yani muncul membawa dua cangkir.
Dia menyodorkan satu untukku tanpa banyak kata.

"Mas," katanya sambil tersenyum, "hari ini kita kemana?
Kemarin kan sudah keliling kota. Aku lihat, nggak jauh dari sini ada bukit.
Gimana kalau kita ke sana?"

Aku mengangguk. "Boleh. Tapi nanti agak siangan, biar nggak licin."

Siang itu, kami mendaki bukit kecil di dekat mes.
Batu-batu basah sisa embun membuat langkah kami licin.
Beberapa kali Yani kehilangan keseimbangan dan akhirnya menggenggam tanganku — ragu-ragu di awal, lalu makin erat.
Aku membalas genggamannya, setengah spontan, setengah sadar.

Kami terus berjalan, kadang tertawa, kadang saling mendiam.
Di puncak bukit, dunia terasa lapang.
Hanya kami berdua di sana, di bawah langit luas.

Sejenak aku lupa.
Lupa bahwa di rumah ada seseorang yang menungguku — seorang istri, seorang anak.
Mereka ada di ujung lain dari hidupku.
Sementara di sini, di antara tawa kecil dan genggaman tangan, ada percikan api yang bisa membakar semuanya.

Aku menarik napas panjang, dalam.
Aku tahu aku harus berhenti.
Aku harus menjauh — dari pemandangan ini, dari Yani, dari diriku sendiri.

Kami turun perlahan.
Masih berpegangan tangan, tapi kini genggamanku dingin, kaku, seperti tali tambang yang menahan sesuatu agar tidak jatuh.

Minggu sore, peserta lain mulai berdatangan.
Yani dipindahkan ke mes putri seperti rencana semula.
Aku merasa lega, sekaligus kehilangan.

Senin pagi, lokakarya dimulai.
Dua hari penuh diisi sesi-sesi resmi, ceramah, diskusi.
Segalanya kembali normal, atau pura-pura normal.

Selasa malam, peserta mulai pulang ke kota masing-masing.
Aku pun bersiap pulang — membawa pulang bukan hanya baju kotor dan buku catatan, tapi juga sebuah rahasia kecil yang hanya aku sendiri yang tahu.

Saat Yani berpamitan, dia menatapku lama.
Ada sesuatu di matanya — sesuatu yang ingin dikatakan tapi tak jadi.

"Mas..." suaranya pelan. "Kita bakal ketemu lagi nggak ya?"

Aku tersenyum, pahit.
Sedikit menunduk sebelum menjawab.

"Pertemuan ini... mungkin memang berkesan," kataku perlahan.
"Karena kita sama-sama salah waktu. Tapi hidup nggak berhenti di sini, Yan.
Kamu punya jalanmu sendiri. Aku juga.
Kenangan ini... biar jadi cerita kecil yang kita simpan. Tapi jangan terlalu sering menoleh ke belakang."

Aku melihat wajahnya menegang sejenak, lalu mengendur dalam pasrah.

"Kenang saja perjalanan singkat ini," tambahku, nyaris berbisik.
"Hanya itu."

Sebuah anggukan pelan dari Yani.
Lalu kendaraan travel datang, menghentikan percakapan yang mungkin bisa berlarut-larut kalau kami terlalu lemah.

Aku melihat punggungnya menjauh, lalu menghilang di balik pintu mobil.

Aku sendiri bergegas ke stasiun, mengejar kereta yang akan membawaku pulang.
Pulang ke hidup yang nyata.
Pulang ke wanita yang setiap malam menungguku, tak pernah tahu betapa besarnya godaan di tengah jalan.

Dua hari bersama Yani bukan sekadar perjalanan —
itu adalah ujian.
Ujian yang diam-diam membakar, lalu diam-diam kupadamkan sendiri.

Dan kini, di dalam deru kereta yang meninggalkan Semarang, aku tahu:
beberapa kenangan memang harus cukup dikenang.
Tidak lebih.

Sabtu, 29 Maret 2025

Pustakawan Mengenal Standar

Buku ini berisi penjelasan singkat tentang standar, mengapa dalam kehidupan kita memerlukan standar, jenis-jenis standar dari standar internasional, standar nasional, standar regional, standar asosiasi. Beberapa contoh standar dijelaskan secara singkat seperti ISO (International Organisation for Standardisation), CAC (Codex Alimentarius Commission), EN (European Norms), ASEAN Harmonized Electrical and Electronic Equipment Regulatory Regime (AHEEER), SNI (Standar Nasional Indonesia), BS (British Standards), dan JIS (Japanese Industrial Standards). Buku ini juga berisi penjelasan tentang standar asosiasi seperti ASTM (American Society for Testing and Materials), AOAC (Association of Official Agricultural Chemists). Sedangkan Sertifikasi bagi penerap standar juga dijelaskan dengan cukup singkat tetapi jelas. Contoh-contoh diberikan penerap standar apa yang perlu disertifikasi dan penerap standar apa yang tidak perlu. Pada bagian akhir dicontohkan penerap ISO 9001 dan bagaimana proses sertifikasinya dengan harapan penjelasan dan contoh-contoh tersebut dapat memberi wawasan kepada para pustakawan tentang standar dan sertifikasinya.

  

Contoh buku dapat Anda baca di sini: Contoh buku: Pustakawan Mengenal Standar
Anda dapat memesan buku lengkapnya ke Abdul Rahman Saleh. Hubungi WA atau Messenger yang bersangkutan.
Harga buku elektronik (digital) dengan format PDF: RP 20.000,-
Harga buku cetak Print on demand): Rp 100.000,- 
Untuk yang memesan buku cetak mohon dibayar dimuka.


Sabtu, 08 Maret 2025

Mengukur Kinerja Perpustakaan

Di Indonesia dan di beberapa negara lain perpustakaan tidak dianggap sebagai lembaga yang cukup penting. Oleh karena itu ketika perpustakaan diminta melaporkan kegiatannya oleh pimpinan, tidak banyak yang diminta oleh pimpinan. Pengalaman saya ketika memimpin perpustakaan di perguruan tinggi yang cukup terkemuka, pimpinan saya hanya meminta tiga hal yang harus dilaporkan yaitu berapa jumlah pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan, berapa buku yang dipinjam selama satu tahun dan berapa peminjam buku tersebut selama satu tahun. Apa artinya? Artinya perpustakaan hanya dianggap lembaga yang bertugas meminjamkan buku saja. Lain tidak. Pertanyaannya, betulkah pekerjaan perpustakaan itu hanya meminjamkan buku yang menjadi koleksinya saja? Kalau memang begitu, tidaklah salah kalau pimpinan beranggapan bahwa jumlah pustakawan atau staf pegawai di suatu perpustakaan sering dianggap terlalu banyak yaitu dengan perbandingan satu pustakawan melayani kira-kira 1000 orang pemustaka (potensial).

Berdasarkan pengalaman itu saya mencoba mencari apa sebenarnya yang dijadikan indikator kinerja sebuah perpustakaan. Pada tahun 1984 saya mendapat penugasan ke Amerika Serikat, tepatnya di Kurd W. Wend Library yang merupakan sebuah perpustakaan di Faculty of Engineering, University of Winconsin, Madison. Selama lebih dari tiga bulan saya magang di perpustakaan tersebut. Sambil magang saya mencari referensi kinerja apa yang biasa diukur oleh perpustakaan di Amerika. Saya menemukan sebuah buku sederhana yang dicetak lokal. Sepertinya dokumen itu semacam “grey literature” dan berisi informasi yang selama ini saya cari. Dokumen ini segera saya fotokopi dan saya bawa pulang ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia saya mencoba menerjemahkannya dan menguji cobakan isinya di perpustakaan saya (saat itu saya belum menjadi kepala perpustakaan). Setelah saya yakin bahwa isinya ini sangat berguna, saya rapikan dokumen terjemahan tersebut dan saya usulkan untuk diterbitkan oleh Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI). Berkat bantuan British Council dan Perpustakaan Nasional pada tahun 2000 buku yang diberi judul “Pengukuran Kinerja Perpustakaan Perguruan Tinggi” ini kemudian terbit dan beredar di lingkungan universitas. Buku yang sangat tipis ini hanya berisi 10 indikator kinerja yang diukur. Sayang, hanya sedikit perpustakaan yang mau dan mampu menerapkannya.

Sesudah tahun 2000an saya berkenalan dengan ISO 11620. Saat itu masih beredar versi 1998. Isinya tidak banyak berbeda dengan buku kecil keluaran FPPTI tersebut, hanya saja indikator yang diukurnya lebih banyak yaitu sebanyak 29 indikator. Sayang, versi 1998 ini belum sempat saya bedah sudah terbit versi 2008 yang mengukur kira-kira 45 indikator. Saya sedang menulis versi ini dan menjelang selesai, tiba-tiba terbit versi 2014 yang mengukur lebih banyak lagi indikator kinerja perpustakaan Versi 2014 ini mengukur sebanyak 52 indikator kinerja. Saya tidak sempat menyelesaikan buku pengukuran indikator kinerja berbasis ISO 11620 versi 2014. Tiba-tiba tahun lalu terbit versi 2023 yang segera diadopsi menjadi SNI. Saya agak terbirit-birit menyelesaikan buku ini karena takut muncul versi yang terbaru lagi. Saya mengubah strategi dalam menyelesaikan buku ini yaitu dengan tidak menjelaskan semua indikator kinerja yang berjumlah 62 indikator tersebut, namun saya memilihkan hanya 10 indikator yang paling mudah dan paling sering diukur. Dengan demikian buku ini dapat segera saya selesaikan. Jika saya memiliki waktu, sisa indikator yang belum dibahas tersebut, saya akan bahas di buku versi edisi berikutnya saja.

Menulis buku mengenai pengukuran indikator kinerja perpustakaan (library performance indicators) merupakan obsesi saya sejak lama, yaitu sejak akhir 1980an ketika saya mulai menerjemahkan dokumen pengukuran indikator kinerja yang saya bawa dari Amerika Serikat. Namun baru kali ini saya mampu menyelesaikan penulisan tersebut walaupun belum selengkap dokumen aslinya yaitu SNI ISO 11620: 2023. Jadi apabila Anda ingin mengetahui lebih lengkap mengenai indikator kinerja perpustakaan, Anda dapat membaca dokumen aslinya. Dokumen ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, tepatnya dokumen ini terbit dalam dua bahasa.



Lihat promo buku ini di Link berikut: Mengukur Kinerja Perpustakaan

Anda dapat memesan buku lengkapnya. Hubungi Abdul Rahman Saleh via WA atau Messenger.

Harga buku elektonik (e-book) atau digital: Rp 50.000,-

Harga buku cetak (printed on Demand): Rp 125.000,- (untuk pemesan buku cetak harap membayar terlebih dahulu, karena saya harus membayar langsung digital printing)

TEKNIK MELAKUKAN KAJIAN BIBLIOMETRIK UNTUK PEMETAAN RISET

 Salah satu kajian di bidang kepustakawanan yang cukup terkenal dan dikenal saat ini serta banyak dilakukan oleh baik pustakawan maupun oleh mahasiswa bidang perpustakaan, dan bahkan mahasiswa non perpustakaan adalah kajian bibliometrik. LISedunetwork (2018) mengutip definisi bibliometrik oleh The British Standards Institution adalah sebagai kajian penggunaan dokumen dan pola publikasi dengan menerapkan metode matematika dan statistika. Borchardt & Chin Roemer (2015) mendefinisikan bibliometrika sebagai berikut “as a set of quantitative methods used to measure, track, and analyze print-based scholarly literature” atau dalam bahasa Indonesia adalah seperangkat metode kuantitatif yang digunakan untuk mengukur, melacak, dan menganalisis literatur ilmiah berbasis cetak. Definisi lain disampaikan oleh Maryono & Junandi, S (2012) seperti berikut: bibliometrika adalah suatu bidang ilmu yang menggunakan teknik matematika dan statistika dari penghitungan sederhana sampai kalkulus, untuk mempelajari publikasi dan pola komunikasi dalam distribusi informasi. Beberapa pakar mengajukan definisi seperti berikut:“the quantitative study of literature and a measurable method used to identify the developmental trends within a certain field to obtain quantifiable, reproducible, and objective data(Guo et al., 2020; Rahayu & Sungkawa, 2021). Selanjutnya Reitz (2004) mendefinisikan bibliometrik tersebut seperti “the use of mathematical and statistical method to study and identify pattern and the usage of materials and services within a library or to analyze the historical development and a specific body of literature, especially its authorship, publication and use”. Bibliometrik merupakan pemanfaatan matematika dan statistika dalam mempelajari dan melihat pola dan penggunaan bahan perpustakaan dan layanan perpustakaan atau untuk melakukan analisis perkembangan sejarah dan kumpulan literatur, terutama kepengarangan, terbitan, serta pemanfaatannya. Bibliometrik banyak digunakan untuk melakukan evaluasi kegiatan penelitian (Andres, 2009; Gingras, 2016; Rehn et al., 2014). Bibliometrik adalah analisis kuantitatif publikasi yaitu dengan mengekstrak data dari publikasi dan menganalisis data tersebut untuk menjawab pertanyaan tentang penelitian yang diwakili oleh publikasi tersebut (Belter, 2015). Hal ini karena diasumsikan bahwa setiap hasil penelitian biasanya dituliskan dalam bentuk karya tulis ilmiah dan dipublikasikan di jurnal ilmiah yang beredar secara internasional sehingga setiap ilmuwan bisa mengakses dan membacanya (Rehn et al., 2014). Jadi evaluasi tersebut berfokus kepada publikasi sebagaimana penjelasan Ball: “Bibliometrics, on the other hand, focuses exclusively on measuring publication. Thus far, however, the term publication has been relatively ambiguous: It includes book chapters, journal articles and papers in conference volumes(Ball, 2017).

Tujuan bibliometrik adalah untuk menjelaskan proses komunikasi dalam bentuk tertulis yang terpublikasi (terbitan) dengan sifat dan arah pengembangan perangkat deskriptif penghitungan serta analisis berbagai faset komunikasi (Basuki, 2016; Prasetyo, 2021).  Dua tujuan utama analisis bibliografi adalah untuk menggambarkan (1) kinerja penelitian yaitu untuk menilai kinerja penelitian serta publikasi individu dan atau institusi dan (2) pemetaan science (science mapping) untuk mengungkapkan struktur dan motivasi dari suatu topik penelitian. Masing-masing memiliki teknik tersendiri, misalnya untuk mengukur performa pencarian kita menggunakan metrik tertentu (perhitungan kuantitatif) seperti sitasi total (total citations), rata-rata sitasi (average citations), kolaborasi (collaboration metrics), dll. Untuk analisis pemetaan ilmiah, salah satunya adalah kita dapat menggunakan analisis sinonim untuk menemukan hubungan yang ada antara satu topik dengan topik lainnya dalam suatu bidang tertentu.  Dengan bibliometrik kita dapat memetakan dan mengevaluasi literatur untuk mengetahui potensi kesenjangan penelitian dan mengetahui batasan pengetahuan, biasanya dilaksanakan melalui siklus berulang untuk menentukan kata pencarian yang sesuai, mencari literatur, kemudian menyelesaikan analisisnya.

 


Anda dapat membaca contoh buku ini di di Link berikut: Buku bibliometrika

Anda juga dapat memesan teks lengkap versi elektronik (e-book) dengan harga: Rp.100.000,-

Sedangkan untuk versi cetak (print on demand) dengan harga: Rp. 200.000,-

Pemesanan dapat menghubungi Abdul Rahman Saleh via WA atau Messenger

Sabtu, 17 Agustus 2024

Kumpulan Puisi Karya ARS

 



Pusi Pertama

Akhir Sebuah Kisah

Sore itu.......
Angin senja dan titik air
Berpacu dalam redup
Membawa kesejukan di hati
Berpadu dalam damai

Kugenggam erat tanganmu
Hangat menjalar dada
Seretan langkahmu
Menuju kedamaian abadi

Ah...abadikah semua itu?
Tidak....
Keremangan senja telah lenyap
Kertas pun jadi abu
Bersama kepingan hati
Yang tergores kepedihan


Kini...
Tinggal harapan yang tersisa
Dari seretan langkahmu
Hampa.....

 

Bogor, ’79.

Puisi Kedua


Brengsek

Antara keramaian manusia dan suara
Dan dalam kesendirianku
Kudengar detak jantungku menegang
Segalanya tegang
Kecuali hati yang menciut
Dan tergeletak bermandikan darah

Ah......brengsek
Wajah itu muncul
Bersama resahnya hati
Kutak kuasa menatap
Dan.....pilu pun ikut berpadu

Bogor ‘79


Puisi Ketiga

Lewat Tengah Malam

 

Lewat tengah malam
Ketika sepi makin melingkup hati
Sementara, suara jangkrik tetap berbunyi
Dalam kelam.........
Sepotong hati terbaring dalam kemelut kelabu

Lewat tengah malam
Ketika seonggok tubuh terbaring
Menatap langit-langit
Kau ada di sana

Kemarin dan hari ini
Tak seorang pun tahu
Kemelut sepotong hati yang terkubur di dasar dada
Kemudian...........
Kau datang di hari esok
Dengan seribu kemungkinan

Dalam kejaran usia yang semakin menua
Hari ini
Kubisikkan tekad
Tuk memetik kebahagiaan
Bersamamu..............

Bogor, 1979


Puisi Keempat

Asaku

Kala senja mulai memudar
Sejuta janji kau ukir dalam cita
Sejuta keindahan kau angankan
Dari nostalgia yang terbengkalai
Dalam kefanaan jiwamu

Sunyi membalut jiwa
Tak kau hiraukan
Kau pelihara bara di dada
Dalam menggapai hakiki hidup 

Kala fajar menyingkap gelap
Rembulan pun mulai memudar
Kutanyakan padamu
Akankah menjadi kenyataan
Sejuta janji yang kau ukir di hatimu
Ataukah hanya kegagalan yang menunggu

 

Bogor, 17 Juli 1979


Puisi Kelima


Sisa Laskar Tua

Dulu ketika muda
Tenaga dan semangatmu menyala
Dunia seakan dalam genggaman jala
Segala keinginan dapat kaucapai

Semua orang datang menghampiri
Mengaku sahabat teman berbagi
Banyak orang bahkan menjadi iri
Karena bagimu semua seakan diujung jari

Kini di usiamu yang senja
Tubuhmu mulai renta
Termakan usia
Berbagai penyakit mulai menyapa

Sahabat dan kawan meninggalkan
Karena kamu tidak dapat digunakan
Hanya sahabat sejati, anak, cucu dan isteri
Yang setia mendampingi

Bagimu tidak ada lagi
Yang masih berarti
Selain berbagi sisa ilmu duniawi
Untuk bekal akhirat nanti 

Tenaga dan semangatmu mulai meredup
Jantungmupun seakan enggan berdegup
Namun jiwa dan semangatmu yang masih hidup
Untuk menatap anak cucu yang hidup cukup

 

(Bogor, 28 Maret 2006)


 Puisi Keenam

 

Untuk Seseorang yang mengaku teman

Ketika aku sudah tenang dan tentram
Menjalani hidup dan karirku
Kamu tiba-tiba hadir dan mengatakan
Kita kan berteman
mana buktinya?

Aku ingat cerita kawan
Kau ungkit peristiwa ketika aku melamar kerja
Kau katakan bahwa berkat kamu
Aku bisa mendapatkan kerja di tempatmu
Hanya karena sepotong informasi bahwa
Pekerjaan itu ada

Lama kemudian waktu berlalu
Karirku di kantor lebih maju
Aku mendapatkan yang aku tuju
Menjadi pengatur laku di kantorku
Bahkan kemudian aku melanglang buana
Tak terbendung oleh apapun

Namun suatu ketika
Perjalanan karirku terhenti
Entah karena apa aku tak mengerti
Sebab perasaanku mengatakan
Bahwa aku sedang berada di puncak tangga
Semua aku bisa raih
Sampai sesuatu yang bahkan orang lain
tak terpikirkan untuk meraihnya

Tiba-tiba aku terjatuh
Satu-satu
Teman-temanku menghindariku
Mencari selamat dan karirnya sendiri
Aku ditinggal pergi
Sendiri….betul-betul sendiri

Namun pelan-pelan aku bangkit
Perlahan meniti karir
Walaupun tak sedikit hambatan
Sampai-sampai akan dipindahkan
Ke tempat yang aku rasa tak mungkin aku bisa berkembang

Permintaan agar aku pindah
Tidak cuma sekali menghampiriku
Bahkan surat permintaan petinggi puncak
Diterima oleh atasanku
Tanya aku tepikan pada atasanku
Apakah dia masih memerlukan aku
Untuk menjadi pembantunya
Di kabinet yang dipimpinnya
Dan…..
Berkat pertanyaanku itu
Aku dipertahankan di kantorku

Kemudian kamu mendapat giliran berkuasa
Aku kau campakkan
Bahkan aku dilemparkan
Pada posisi yang tidak pernah terbayangkan
Oleh siapapun yang menyaksikan 

Tuhan menyelamatkan aku
Dari perasaan hina berada di lingkunganku
Aku diangkat dari lumpur
Untuk menjadi seseorang yang terhormat
Bahkan menjadi lebih tinggi dari posisimu
Dan aku mendapatkan martabatku sebagai manusia

Kini
Setelah aku kembali ke kantorku
Setelah menyelesaikan tugasku di luar sana
Aku melihat kondisi kantorku berubah parah
Dan demi tanggung jawab moral
Aku berusaha menggerakkan semua teman
Untuk mengembalikan marwah kantorku
Seperti dulu

Kemudian tiba-tiba kamu datang
Karena mendengar cerita
Bahwa apa yang terjadi pada diriku dulu
Karena ulahmu,
dan aku tak mau memberimu maaf
Bahkan sampai ke liang kubur
Peristiwa itu kan kubawa

Kamu lempar tanya padaku
Apa bukti kecurigaanku
Sampai-sampai aku tak mau memberi maaf
Ketika kamu dalam suatu kesempatan
Meminta maaf pada semua orang
Aku jelaskan apa yang menjadi kecurigaanku
Atas nasib yang menimpaku

Tapi
Semua kamu ingkari
Bahkan kamu katakan
Mengapa dulu kamu tidak tanyakan
Agar semua bisa diselesaikan
Jangan sampai menunggu sekarang
Karena katamu kita teman

Kalau kita teman
Apakah kamu bisa buktikan
Seperti yang kulakukan dulu ketika aku berkuasa
Aku angkat kamu menjadi pembantuku
Bahkan ketika kamu berulah dan membangkang dari perintahku
Aku membiarkan dan hanya menyaksikan dengan harapan
Kamu kan sadar dan berubah haluan
Ke visi yang sama denganku

Aku juga menolak dengan halus
Permintaan pembantu dan sahabat terdekatku
Untuk menyingkirkanmu dari posisimu
Aku katakan tidak
Karena kau kuanggap teman
Dan aku berjanji pada kawan-kawan
Untuk menasehati dan mengingatkan
Agar kamu bisa menjadi anggota tim yang membanggakan 

Namun
Ketika kamu berkuasa
Dan aku menjadi pembantumu
Aku engkau campakkan
Ke tempat yang menurutku paling hina sehina-hinanya
Apakah itu yang kau katakan berteman? 

Kamu pikir tindakanmu benar
Tapi kamu tidak merasakan akibatnya
Kamu katakan bahwa kamu tidak punya niat
Menyakiti dan menghacurkan aku
Tapi aku merasakan akibat keputusanmu
Kamu bilang kamu tidak pernah menghianati pertemanan kita
Sehingga kamu masih berteriak
Kan kita berteman 

Tapi….bagiku
Biarlah waktu yang membuktikan
Siapa yang menghianati
Siapa yang dikhianati
Siapa yang menyakiti
Siapa yang disakiti

 

(Bogor, akhir Maret 2017)


Puisi Ketujuh

Kekuasaan 

Ketika engkau bersahabat denganku
Apapun bisa kulakukan
Bintang dapat kuraih
Bulan pun bisa kupetik
Ku taklukkan semua orang
Dan aku bertengger di puncakmu

Ketika engkau pergi meninggalkan aku
Dan persahabatanmu kau berikan pada orang lain
Aku menjadi tak berdaya dan tak berharga
Tanpamu aku bukan apa-apa
Orang yang memegangmulah
Yang akan mengemudikan dunia 

Engkau memang bebas berpindah sekehendakmu
Dari satu orang ke orang lain yang engkau sukai
Kedigdayaanmu merajalela
Hanya satu yang bisa mengendalikanmu
Yaitu kebijaksanaan 

Tanpa kebijaksanaan
Orang yang engkau tongkrongi
Akan berbuat semena-mena
Bahkan bisa membelokkan sejarah 

Apakah ini takdir?
Entahlah
Semua jejak masa lalu akan engkau hapuskan
Engkau lumatkan menjadi puing tanpa harga
Tetapi persahabatan dengan kekuasaan itu
Tak pernah kekal
Dan ketika kekuasaan itu menyingkir
Penguasa itu juga akan menjadi jelata 

Hanya jejak yang engkau pahatkan
Melalui dunia maya
Yang akan dikenang orang
Bukan jejak kuasamu 

Hai penguasa sadarkah engkau
Suatu saat akan tiba giliranmu
engkau juga akan menjadi jelata
Dan akan menuai apa yang telah kau tanam

 

Boo, 24 April 2024


 Puisi Kedelapan

Bagai Memelihara Anak Singa 

Dulu kita berteman akrab
Suka duka kuliah
Kita hadapi bersama
Sampai-sampai semua teman iri 

Ketika kita selesai
Kembali ke tempat masing-masing
Lalu engkau datang
Meminta tolong
Agar bisa bekerja di tempatku 

Tanpa curiga
Aku mencarikan jalan
Agar kamu bisa bersamaku
Bahkan berkegiatan denganku
Biarpun orang menentangku
Aku mencoba mentuli bisu 

Pelan tapi pasti
Engkau mendapatkan posisi
Sebagai teman aku mendukungmu
Bahkan tak segan membantu 

Ketika kamu merangkak naik
Ke posisi yang tinggi
Aku malah kamu musuhi
Aku tak mengerti
Kesalahan apa yang aku buat
Sampai-sampai kamu tega memusuhiku 

Kamu tendang aku
Bahkan kamu katakan
Kalau semua orang membenciku
Dan tidak dapat menerima keberadaanku 

Sayang sekali kamu lupa
Keberadaanmu di sini
Berkat usahaku
Tetapi ketika kamu memiliki kuasa
Kamu malah membuangku 

Kini aku sadar
Aku ibarat memelihara anak singa
Ketika kecil dan lucu
Aku ajak bercanda gurau
Tetapi sesudah besar
Ternyata aku diterkamnya
Oh…nasib,
Biarlah Tuhan yang mencatat
Suatu saat perbuatanmu akan berbalas

 

Bogor, 26 Juli 2024


Senin, 12 Agustus 2024

Kisah Cinta Sang Pustakawan

Sinopsis

Persahabatan sekelompok siswa SMA di kota kecil Bangkalan, Jawa Timur di tahun 1970an yang demikian kompak. Ternyata dalam hubungan persahabatan mereka ada cinta yang tumbuh. Celakanya, cinta itu adalah cinta segitiga antara Evan, Fina, dan Diana. Pada malam acara perpisahan mereka Evan memilih menyatakan cintanya kepada Fina. Tetapi beberapa hari kemudian Fina melihat Evan berboncengan dengan Diana. Fina yang cemburu akhirnya memutuskan meninggalkan Evan. Puluhan tahun kemudian Evan menemukan Fina pada sebuah seminar di puncak, Bogor di mana dia menjadi salah seorang pembicaranya. Cinta mereka merekah kembali walau mereka sadar tidak mungkin bisa membawanya ke pelaminan. Perjalanan hidup mereka yang getir membawa status mereka menjadi duda dan janda. Evan mendapat kabar bahwa Fina sedang dirawat di RSJ di Bogor karena mengalami stres berat sesudah suaminya selingkuh dan dia akhirnya meminta cerai. Evan mengunjunginya. Cinta mereka kembali merekah, namun kunjungan kedua Evan terhalang. Evan terjebak dalam tawuran siswa yang menyebabkan Evan terluka. Evan dirawat di RS yang sama dengan Fina. Pertemuan ini berakhir pada Evan menikahi Fina.


Teman-teman, ayo baca novelku....