Minggu, 27 April 2025

Menunggu Lokakarya, Menunda Bencana

Sinopsis 

Dua hari yang seharusnya biasa saja berubah menjadi perjalanan batin penuh godaan. Dalam kesunyian kota asing, dua orang yang terdampar karena salah jadwal lokakarya menemukan kehangatan yang tak seharusnya ada. Genggaman tangan, tawa ringan, dan mata yang enggan berpaling — semua mengarah pada batas yang tidak boleh dilanggar. "Kenangan yang Tidak Boleh Hidup" adalah kisah tentang bagaimana perasaan harus dikalahkan sebelum berubah menjadi luka, tentang setia pada janji meski dunia menawarkan sejenak pelarian.


Sekitar pukul tiga pagi aku tiba di Semarang. Udara lengket, malas bergerak.
Bis menurunkanku di tepi jalan, lalu pergi, seolah juga ingin cepat melupakan kota ini.

Aku baru sekali ini menginjakkan kaki di Semarang.
Undangan lokakarya, katanya. Di Ungaran. Dekat, tapi tetap saja terasa asing.
Hari masih buta. Warung 24 jam jadi satu-satunya mercusuar.
Aku masuk, memesan kopi, rokok, sedikit alasan untuk menunda kesepian.

Tukang warung itu cerewet.
Aku pura-pura mendengarkan sambil memikirkan nasib sendiri.
Ia memberiku petunjuk jalan sekenanya, seolah tahu aku akan tetap tersesat.

Pagi merangkak malas.
Aku naik taksi. Sopir taksi tak kalah malas bicara, atau mungkin sudah lelah mengantar orang-orang yang tak tahu mau ke mana dalam hidupnya.

Sampai di kantor tujuan, suasananya lebih dingin daripada udara dini hari tadi.
Ruang tunggu luas, kosong, dan entah kenapa terasa sedikit menghina.
Di dinding, akuarium besar mengisi kekosongan itu.
Ikan-ikan berenang riang, tanpa beban, tanpa utang, tanpa rasa takut dicoret dari daftar hidup.
Mereka tak perlu pusing soal makan besok.
Tak perlu berlagak bahagia sambil mengkhawatirkan uang sewa.
Tak perlu pura-pura sukses di depan dunia yang juga pura-pura peduli.

Manusia?
Yang miskin pusing mengais sisa-sisa.
Yang kaya pusing mencari cara menyembunyikan dosa di balik jas mahal.
Semua sibuk mengejar sesuatu yang akhirnya akan dibusukkan tanah juga.

Aku menatap ikan-ikan itu lama-lama.
Mereka tampak seperti makhluk paling jujur yang pernah kulihat.

Sesuai isi undangan, semua peserta diminta berkumpul di kantor ini, lalu bersama-sama diantar ke lokasi acara di Ungaran.
Tapi sampai siang lewat, tak satu pun peserta lain muncul.
Ruang tunggu tetap kosong, hanya ikan-ikan di akuarium itu yang sibuk mondar-mandir.

Aku mulai gelisah.
Ketika seorang pegawai datang, aku segera menghampirinya.

"Mas, mau tanya," kataku.

Pegawai itu tersenyum kaku. "Ya, silakan."

"Peserta lokakarya ini... kumpul di sini, kan?" Aku sodorkan undangan.

Dia membaca sekilas, lalu mengangguk. "Betul, Pak. Tapi lokakaryanya diundur. Baru mulai Senin depan."

Aku terdiam. Senin depan?
Hari ini baru Jumat.

"Lho, kok enggak ada pemberitahuan?" suaraku meninggi, lebih ke diri sendiri sebenarnya.

"Ada, Pak," katanya cepat, suaranya entah bersalah entah sekadar basa-basi. "Cuma... pemberitahuannya mendadak. Mungkin belum sampai ke Bapak."

Mendadak.
Semuanya di negeri ini memang selalu mendadak.

Aku menghela napas panjang, mencoba menelan kenyataan.
Pulang ke kotaku? Mustahil.
Tiket mahal, belum tentu dapat.
Balik lagi dua hari kemudian? Lebih tolol lagi.

Aku merasa seperti sepotong sandal yang ketinggalan di halte — tidak berguna, tidak tahu harus ke mana.

Waktu itu, komunikasi belum semudah sekarang.
Belum ada WhatsApp, belum ada internet di kantong.
Kalau ada berita penting, ya bisa saja nyangkut di jalan, hilang sebelum sampai tujuan.
Itulah yang terjadi. Pengumuman tentang pengunduran lokakarya entah tersesat di mana. Aku berangkat tanpa tahu apa-apa.

"Sudah ada satu peserta lagi, Pak," kata pegawai itu, entah untuk menghibur atau menambah rasa sialku.
"Sama, dia juga nggak sempat nerima pengumuman. Ayo, saya kenalkan."

Dia membawaku ke sudut ruang tunggu.
Di sana, seorang perempuan duduk sambil memeluk tas ranselnya, matanya kosong, mungkin sama bingungnya denganku.

"Mbakyu, ini ada teman seperjuangan," kata pegawai itu. "Nanti Bapak dan Mbak tunggu saja di sini. Siang nanti kalau sudah pasti nggak ada peserta lain, saya antar ke lokasi. Di sana ada mes. Bisa nginap. Lokasi acara juga dekat, tinggal jalan kaki."

"Baik, Mas," jawabku, hampir bersamaan dengan perempuan itu.

Setelah pegawai itu pergi, aku menoleh ke perempuan itu.

"Yani," katanya sambil tersenyum kecil.

Umurnya mungkin sekitar 25-an.
Wajahnya manis, bulat khas Jawa.
Kulitnya hitam manis, rambut lurus sebahu, gerak-geriknya sederhana tapi enak dilihat.
Tingginya sedang, mungkin sekitar 160 cm.
Singkatnya: cukup membuat pagi sialku terasa sedikit kurang sial.

Setelah perkenalan singkat, kami ngobrol sambil menunggu mobil yang akan mengantar kami ke mes.

"Mbakyu kerja di bagian apa di kantor itu?" tanyaku, berusaha memecah kekakuan.

"Oh, aku di perpustakaan," jawab Yani sambil tersenyum kecil. "Sambil kuliah juga, di kampus swasta. Ngambil jurusan yang... ya, setidaknya masih nyambung sama kantor.
Kerja di perpustakaan ini cuma numpang lewat, sih. Mimpi besarnya pindah jadi peneliti di departemen."

Dia menghela napas, entah lelah atau malas membahas kenyataan.

"Katanya aku pustakawan," lanjutnya, "padahal kuliahku bukan ilmu perpustakaan."

Aku tertawa kecil. "Sama. Aku juga pustakawan. Bagian referensi."

Dia mengerutkan kening. "Referensi itu apa ya? Maklum, aku pustakawan karbitan."

"Bagian referensi itu kayak tukang jawab," kataku. "Kalau ada orang cari informasi, kita yang bantu nemuin jawabannya."

"Oh, gitu..." katanya, manggut-manggut.
"Kalau di tempatku semua kerjaan campur aduk. Maklum, perpustakaannya kecil. Kadang jadi resepsionis, kadang kayak tukang sapu."

Aku tersenyum. Ada sesuatu dalam nada bicaranya — getir, tapi juga enteng, seperti sudah berdamai dengan keadaan.

Obrolan ngalor-ngidul terus mengalir, membuat kami cepat akrab.
Kami sudah saling memanggil nama. Tapi Yani tetap menambahkan "Mas" di depan namaku — mungkin kebiasaan, mungkin bentuk jarak yang sopan.

Waktu merangkak.
Hari makin siang. Sepertinya tak ada lagi peserta yang salah jadwal seperti kami.

Menjelang makan siang, perut kami mulai protes.
Kami menyusuri lorong-lorong kantor itu dan menemukan kantin kecil di belakang gedung.
Nasi soto jadi pilihan aman.

Sambil makan, obrolan kami terus berputar, entah soal kuliah, kerjaan, atau sekadar bercanda soal betapa konyolnya nasib kami hari itu.

Setelah kenyang, kami kembali ke ruang tunggu — satu-satunya tempat yang rasanya sudah mulai terasa seperti "wilayah kami".

Sekitar jam satu siang, pegawai yang tadi pagi menemui kami datang lagi.

"Silakan, Bapak dan Mbak ikut saya ke mobil. Saya antar ke penginapan," katanya sambil tersenyum.

Kami mengekor, setengah lega akhirnya ada sesuatu yang bergerak dalam hidup kami hari itu.

Di dalam mobil, si pegawai memberi pesan, "Nanti malam nggak usah cari makan, ya, Pak, Mbak. Panitia akan jemput buat makan malam di restoran."

Aku hanya mengangguk. Yani tersenyum kecil, matanya menerawang keluar jendela.

Tiba di penginapan, kami ditempatkan di kamar yang bersebelahan.
Sebenarnya, mes untuk putri ada di gedung lain. Tapi karena baru kami berdua, Yani untuk sementara ditempatkan di sebelah kamarku.

"Mbakyu sementara di kamar sebelah, ya, Pak. Nanti kalau peserta lain datang, Mbakyu dipindah ke mes putri," jelas pegawai itu, lebih santai.

"Selamat beristirahat," tambahnya, lalu pergi, meninggalkan kami berdiri di koridor yang sepi.

Sejenak kami saling pandang, lalu tertawa kecil — tanpa kata, sama-sama merasa betapa anehnya perjalanan ini.

Sore itu kami tak punya acara.
Jadi kami duduk di teras, melanjutkan obrolan tanpa arah.
Angin sore mengusap pelan, langit perlahan berubah warna.
Matahari mulai turun, meninggalkan jejak oranye di ufuk.

Yani yang sudah mulai lepas menawarkan sesuatu.
"Mas, mau kopi? Aku bikinin, ya."

Kebetulan di kamar memang ada kopi instan dan air panas.
Aku mengangguk. "Boleh banget."

Kami menghabiskan sore dengan cangkir-cangkir kopi dan cerita-cerita kecil yang makin lama makin dalam.
Entah kenapa, suasana antara kami terasa ringan, bahkan sedikit berbahaya — dua orang asing yang terlalu cepat merasa nyaman.

Pagi Sabtu, setelah mandi dan bersih-bersih, kami duduk lagi di teras.
Yani sudah menyiapkan kopi, wangi seduhan barunya menguar di udara pagi.

"Mas," katanya sambil menyeruput kopinya, "apa acara kita hari ini?"

Aku berpikir sebentar, lalu berkata, "Jalan-jalan ke kota, yuk?"

Tak kusangka, Yani langsung mengangguk. "Boleh juga."

Begitulah, hari itu kami habiskan keliling Semarang.
Naik turun angkot, berganti ke bis kota.
Mampir ke mal, ke toko-toko kecil, ke jalanan sempit yang penuh suara dan bau khas kota tua.
Obrolan kami tak pernah berhenti — tentang apa saja, tentang siapa saja.
Tawa kadang meledak, kadang hanya senyum malu-malu.

Menjelang sore, kami kelelahan.
Setelah makan siang di mal, kami kembali ke mes untuk tidur siang.

Malamnya, masih setengah mengantuk, kami keluar sebentar hanya untuk membeli sate.
Tak banyak bicara malam itu — mungkin karena terlalu lelah, mungkin karena sudah terlalu banyak kata sepanjang hari.

Akhirnya kami saling pamit di koridor.
Tanpa basa-basi, tanpa formalitas.
Seperti teman lama yang tahu, esok hari akan membawa cerita baru.

Minggu pagi.
Matahari baru naik, menghangatkan tanah yang masih basah embun.
Angin kecil lewat, membawa aroma rumput dan tanah basah.
Dari kejauhan, suara burung terdengar seperti percakapan pelan yang tak pernah usai.

Aku keluar kamar dan duduk di teras, secangkir kopi di tangan.
Tak lama, Yani muncul membawa dua cangkir.
Dia menyodorkan satu untukku tanpa banyak kata.

"Mas," katanya sambil tersenyum, "hari ini kita kemana?
Kemarin kan sudah keliling kota. Aku lihat, nggak jauh dari sini ada bukit.
Gimana kalau kita ke sana?"

Aku mengangguk. "Boleh. Tapi nanti agak siangan, biar nggak licin."

Siang itu, kami mendaki bukit kecil di dekat mes.
Batu-batu basah sisa embun membuat langkah kami licin.
Beberapa kali Yani kehilangan keseimbangan dan akhirnya menggenggam tanganku — ragu-ragu di awal, lalu makin erat.
Aku membalas genggamannya, setengah spontan, setengah sadar.

Kami terus berjalan, kadang tertawa, kadang saling mendiam.
Di puncak bukit, dunia terasa lapang.
Hanya kami berdua di sana, di bawah langit luas.

Sejenak aku lupa.
Lupa bahwa di rumah ada seseorang yang menungguku — seorang istri, seorang anak.
Mereka ada di ujung lain dari hidupku.
Sementara di sini, di antara tawa kecil dan genggaman tangan, ada percikan api yang bisa membakar semuanya.

Aku menarik napas panjang, dalam.
Aku tahu aku harus berhenti.
Aku harus menjauh — dari pemandangan ini, dari Yani, dari diriku sendiri.

Kami turun perlahan.
Masih berpegangan tangan, tapi kini genggamanku dingin, kaku, seperti tali tambang yang menahan sesuatu agar tidak jatuh.

Minggu sore, peserta lain mulai berdatangan.
Yani dipindahkan ke mes putri seperti rencana semula.
Aku merasa lega, sekaligus kehilangan.

Senin pagi, lokakarya dimulai.
Dua hari penuh diisi sesi-sesi resmi, ceramah, diskusi.
Segalanya kembali normal, atau pura-pura normal.

Selasa malam, peserta mulai pulang ke kota masing-masing.
Aku pun bersiap pulang — membawa pulang bukan hanya baju kotor dan buku catatan, tapi juga sebuah rahasia kecil yang hanya aku sendiri yang tahu.

Saat Yani berpamitan, dia menatapku lama.
Ada sesuatu di matanya — sesuatu yang ingin dikatakan tapi tak jadi.

"Mas..." suaranya pelan. "Kita bakal ketemu lagi nggak ya?"

Aku tersenyum, pahit.
Sedikit menunduk sebelum menjawab.

"Pertemuan ini... mungkin memang berkesan," kataku perlahan.
"Karena kita sama-sama salah waktu. Tapi hidup nggak berhenti di sini, Yan.
Kamu punya jalanmu sendiri. Aku juga.
Kenangan ini... biar jadi cerita kecil yang kita simpan. Tapi jangan terlalu sering menoleh ke belakang."

Aku melihat wajahnya menegang sejenak, lalu mengendur dalam pasrah.

"Kenang saja perjalanan singkat ini," tambahku, nyaris berbisik.
"Hanya itu."

Sebuah anggukan pelan dari Yani.
Lalu kendaraan travel datang, menghentikan percakapan yang mungkin bisa berlarut-larut kalau kami terlalu lemah.

Aku melihat punggungnya menjauh, lalu menghilang di balik pintu mobil.

Aku sendiri bergegas ke stasiun, mengejar kereta yang akan membawaku pulang.
Pulang ke hidup yang nyata.
Pulang ke wanita yang setiap malam menungguku, tak pernah tahu betapa besarnya godaan di tengah jalan.

Dua hari bersama Yani bukan sekadar perjalanan —
itu adalah ujian.
Ujian yang diam-diam membakar, lalu diam-diam kupadamkan sendiri.

Dan kini, di dalam deru kereta yang meninggalkan Semarang, aku tahu:
beberapa kenangan memang harus cukup dikenang.
Tidak lebih.